Peran Bidan NIy…

Peran Bidan Tak Sekedar Kesehatan Reproduksi
30 Mar 2007
JAKARTA–MIOL: Peran bidan kini tidak lagi terbatas pada penanganan kesehatan reproduksi ibu saja, tetapi ia harus mampu menggerakkan dan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk terlibat di kesehatan komunitasnya.
Masyarakat pedesaan harus diposisikan sebagai mitra dalam kegiatan pengawasan kebutuhan gizi, kesehatan lingkungan, penyakit menular dan penanganan akibat bencana. Hal itu disampaikan Direktur Bina Kesehatan Ibu Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Sri Hermiyanti di Jakarta, Kamis (29/3), dalam panel diskusi Pendidikan Kebidanan Berorientasi Komunitas. Acara diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan. Menurut Sri, minimal satu tenaga bidan akan ditempatkan di setiap desa di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan Desa Siaga. Sehingga, dibutuhkan sekitar 69.957 bidan untuk desa dengan jumlah yang sama. Bidan akan menjadi salah satu komponen Desa Siaga untuk ditempatkan di pos-pos kesehatan desa. Setiap bidan diharapkan akan memiliki dua orang kader untuk mendampinginya di pos kesehatan desa. Sri menambahkan bahwa tenaga bidan hendaknya dilengkapi dengan pengetahuan kepemimpinan dan manajerial untuk menjalankan fungsi pemberdayaan melalui kemitraan tersebut. Ketua YPKP Goelardi menambahkan bahwa bidan-bidan yang mereka latih juga dibekali dengan materi-materi kesadaran gender agar dapat memperhatikan kebutuhan ibu hamil. Sementara itu, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Harni Koesno mengatakan bahwa saat ini ada 30.236 desa yang memiliki bidan. Ini berarti 43,22 persen dari total desa yang membutuhkan bidan. “Di luar angka itu, desanya kosong bidan,” kata Harni. Ia juga menambahkan 50 persen kelahiran di Indonesia masih ditangani oleh bidan dan lima persen oleh dokter. Tetapi, ada 32 persen kelahiran yang masih ditangani oleh dukun bayi. Padahal, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IBI dan IMPACT tentang Penempatan Bidan di Desa 2006 disimpulkan bahwa persalinan yang didampingi oleh bidan atau tenaga kesehatan berpengalaman akan berpengaruh pada rendahnya angka kematian ibu (AKI). Tetapi, penelitian tersebut juga menemukan bahwa bidan di lapangan berhadapan dengan kondisi poliklinik desa yang sangat tidak layak, begitu pula dengan sarana rujukan dan ketersediaan peralatan. Selain itu, Harni mempertanyakan sejauh mana bidan diikutsertakan dalam perencanaan kebijakan tentang kesehatan. “Bidan harus diikutsertakan dalam perencanaan kebijakan,” katanya. Dalam kesempatan terpisah, ahli kesehatan reproduksi dan AIDS Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Roy Tjiong mengatakan bahwa kehadiran tenaga terlatih dalam proses persalinan adalah solusi yang paling efektif dalam upaya menurunkan AKI. “Kehadiran dukun bersalin justru menjauhkan ibu hamil dari sistem rujukan karena semakin banyak orang yang harus dikonsultasikan untuk mengambil keputusan sampai akhirnya terlambat,”

Published in: on Juli 2, 2007 at 6:44 am  Komentar Dinonaktifkan pada Peran Bidan NIy…  

NIY baRu BidaN

Keluarga Bidan Teladan 2006 Luh Putu Kertiasih A.Md. Keb Beras Merah Menu Utama Keluarga
Oleh arixs
Senin, 06-November-2006, 12:55:50 426 klik

PUSKESMAS sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama dalam sistem kesehatan nasional. Tak hanya itu, sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia yang melaksanakan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), puskesmas memerlukan tenaga medis yang andal serta inovatif, agar pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara optimal.

Hal itulah yang menjadi kunci utama bidan peroleh predikat bidan puskesmas teladan se-propinsi Bali, Luh Putu Kertiasih, A.Md. Keb dalam menjalankan visi misinya di Puskesmas II Denpasar Timur. Bersama seluruh bidan puskesmas di Bali, Luh Kertiasih mengikuti lomba tenaga kesehatan teladan tingkat nasional 2006. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya menjalankan tugas sebagai tenaga medis, ia terpilih menjadi wakil bidan puskesmas teladan propinsi Bali yang ikut dalam kegiatan shilaturahmi bersama presiden, 16 Agustus 2006, di Istana Negara, Jakarta.
Lomba tenaga medis teladan tersebut diselenggarakan Departemen Kesehatan Nasional. Masing-masing propinsi memilih empat tenaga medis puskesmas, yakni bidan, sanitarian, ahli gizi, dan dokter. Untuk Provinsi Bali, bidan teladan diraih Luh Putu Kertiasih dari Denpasar, sanitarian teladan diraih I Nengah Suarsana dari Karangasem, ahli gizi diraih Ni Nyoman Sudiati dari Klungkung, dan dokter teladan diraih A.A Ayu Agung Chandrawati dari Denpasar.
Dalam lomba tersebut ada empat kriteria penilaian, yakni bagaimana menjalani tugas sebagai insan profesi, insan masyarakat, manajerial, dan tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kertiasih mengabdi di Puskesmas II Denpasar timur sejak tahun 1989. “Dari awal menjadi tenaga medis, saya sudah mengabdi di puskesmas ini,” ungkapnya. Pelayanan yang ia berikan tak hanya sebatas program KB, namun ia juga aktif memberikan pelayanan gizi melalui posyandu. Seperti kebiasaannya dalam keluarga mengonsumsi nasi beras merah, ia pun menghimbau kepada masyarakat agar selalu memberikan makanan bervarisasi tiap hari, termasuk bubur dari beras merah. “Beras merah menjadi menu utama keluarga tiap hari. Selain menambah nafsu makan anak, vitamin B1 yang terkandung di dalamnya juga dapat mempercepat pertumbuhan,” katanya. Sejak tahun 1997, Kertiasih mengaku telah mengganti makanan pokok keluarganya dengan beras merah. “Agar warnanya tak terlalu merah, saya campur dengan beras putih. Misalnya beras putih satu kilogram, beras merah seperempat kilogram,” ujarnya. Kebiasaan mengonsumsi beras merah muncul saat ia mendapat kiriman beras merah dari kampung kelahirannya di Tabanan. Ternyata hal itu membawa dampak positif terhadap nafsu makan anaknya. “Dengan nasi dari beras merah, nafsu makan anak yang semula kurang menjadi lebih banyak,” akunya. Dibandingkan beras biasa, harga beras merah per kilo nya lebih mahal. Untuk per kilo beras merah, Kertiasih mengaku harus merogoh kocek Rp 7500.
Luh Putu Kertiasih berasal dari keluarga petani. Namun sejak kecil cita-citaya bukan menjadi insinyur pertanian, ia lebih tertarik menjadi seorang tenaga medis. Sejak kecil sikap mandiri sudah di ajarkan kedua orangtuanya. Hal ini dapat terlihat ketika ia duduk dibangku SD, ia dibolehkan tinggal dan menetap di tempat saudaranya di banding ikut orangtuanya. “Sejak SD saya tinggal bersama kakak di Jembrana. Saya mampu menjalani hidup tanpa orangtua,” akunya.
Di sinilah cita-citanya menjadi tenaga medis muncul. “Suatu ketika saya menderita gatal-gatal disekitar kaki. Karena lukanya memerlukan perawatan intensif, maka hampir tiap hari saya ke puskesmas. Dari sinilah saya bisa belajar banyak hal mengenai kesehatan. Cita-cita itu pun akhirnya muncul,” ujarnya.
Ia mewujudkan angan-angannya menjadi tenaga medis dengan melanjutkan sekolah di Sekolah Perawat Kesehatan Denpasar tahun 1987. “Saya kira tiga tahun sekolah perawat, sudah mampu mengambil gelar bidan. Ternyata tak semudah itu. Tapi saya cukup puas, karena lulus SPK, SK saya untuk menjadi PNS tiba. Saya pun mengabdi di Puskesmas II, Denpasar Timur. Turunnya SK itu akhirnya membuat saya membatalkan melanjutkan pendidikan D1 Kebidanan,” ujarnya.
Rasa kecewa bercampur senang berkecamuk dalam hati perempuan kelahiran Tabanan, 27 Juli 1967, ini. Karena gagal masuk kebidanan, Kertiasih memutuskan untuk menikah. Ia pun disunting lelaki asal Buleleng, Ketut Sudarma. Hari pertama menjadi perawat di puskesmas membuat Kertiasih bangga meski pun cita-citanya meraih gelar bidan kandas. Tapi semangatnya tak pernah luntur, melalui buku atau bertanya dengan bidan dan dokter senior ia mampu mempertajam pengetahuannya dibidang kesehatan.
Pelayanan pertama yang ia lakukan adalah menjadi pembina program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di beberapa UKS yang terletak di kawasan Puskesmas II Denpasar Timur. Tahun 1997, kesempatan melanjutkan D1 kebidanan akhirnya terwujud. “Saya memilih sekolah Akademi Kebidanan di Singaraja,”akunya. Untuk mematangkan kemampuannya, tahun 2002 Kertiasih mengikuti pendidikan di Poltekes Denpasar jurusan kebidanan.
Pengalaman kerja sebagai tenaga bidan mampu membuatnya lebih dekat dengan masyarakat. “Kami rutin mengadakan kunjungan ke masyarakat khususnya yang mempunyai masalah kehamilan. Terkadang jika pasien rutin memeriksakan kehamilan di puskesmas, tiba-tiba tak datang berkunjung, kami langsung mengadakan pemantauan, mencari permasalahan kenapa pasien tak lagi memeriksakan kehamilannya,” ungkap Kertiasih.
Bertugas di daerah perkotaan tak berbeda tingkat kesulitannya dengan bidan desa. Mobilitas penduduk yang tinggi merupakan kendala bagi Kertiasih dalam menjalankan tugas. “Misalnya, karena sebagian besar penduduk kota adalah pendatang, terkadang alamat pasien berpindah- pindah, sehingga kami sulit melakukan pemantauan kesehatan,” ungkapnya.
Kesibukan Kertiasih dibidang kesehatan, tak menjadi alasan untuk tak dekat dengan keluarga. Hal itu dapat terlihat ketika ia menjadi salah satu tenaga medis yang terpilih ikut ke Jakarta. “Meski itu kegiatan dinas, suami dan kedua anak saya ajak. Sambil rekreasi kelurga,” aku ibu dari Gede Suryawan Adiyasa dan Kadek Chandra Kusuma ini.
Sama seperti dirinya, sikap mandiri dan disiplin selalu ditanamkan untuk kedua anaknya. ‘Ketika saya dinas keluar kota, meski laki-laki mereka bisa memasak sendiri atau membersihkan rumah,” ungkapnya.
Ia tak merasa khawatir jika harus berpisah dengan keluarganya karena tugas keluar kota. “Sikap saling percaya selalu kami tanamkan. Dengan pendidikan agama dan budi pekerti yang kami ajarkan untuk anak-anak, saya percaya anak-anak mampu menjaga diri dari pergaulan bebas,” ungkapnya.
Bagi Kertiasih, waktu berkumpul keluarga tak harus diisi dengan kegiatan resfresing keluar rumah. Meski masing-masing anggota keluarga sibuk dengan aktivitas masing-masing, keharmonisan keluarga ini muncul saat sore tiba. “Di pagi hari kami memang sibuk, namun waktu keluarga selalu ada ketika sore hari. Kami selalu membuat kegiatan di rumah yang menyenangkan, misalnya dengan bercerita, kegiatan memasak atau saling curhat. Jadi tiap hari selalu ada waktu untuk berkumpul dengan mereka,” akunya. —lik

Luh Putu Kertiasih, A.Md. Keb.
Luh Putu Kertiasih dan keluarga

Published in: on Juli 2, 2007 at 4:57 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Apa Siy KIA Ntu???…….

Kesehatan Ibu dan Anak
Bidan-bidan dalam masyarakat Sumatera secara tradisional memberi dukungan medis dan emosional kepada perempuan dalam komunitas mereka, menguatkan hubungan sosial sambil menghasilkan pendapatan untuk keluarga mereka sendiri. Klinik kebidanan dan pusat-pusat kesehatan ibu dan anak (Posyandu) memainkan peranan yang besar bukan hanya dalam memastikan bahwa ibu hamil dan balita memperoleh perawatan tetapi juga memberi tempat di mana para ibu bisa bertemu dengan ibu-ibu yang lain dan mendiskusikan isu-isu yang tidak dapat dibahas dimuka umum.

Pada waktu tsunami banyak klinik-klinik kebidanan dan posyandu yang hancur. Sebuah kajian yang dilaksanakan di Meulaboh di bulan Pebruari 2005 menemukan bahwa terdapat 16 bidan yang tewas dan 44 orang yang menjadi korban langsung tsunami. Karena bidan-bidan ini membantu sekitar 10 – 35 kelahiran per bulan, mereka memainkan peran yang vital di bidang kesehatan untuk sekitar 500 – 1.500 keluarga per bulan. Tim kajian juga bertemu dengan banyak ibu yang memiliki balita yang tinggal di kamp-kamp pengungsi dan mengidentifikasi kebutuhan mendesak akan dukungan emosional dan informasi mengenai nutrisi, ASI, dan perkembangan balita.

Banyak bidan yang bekerja paruh waktu di puskesmas-puskesmas pemerintah atau pos kesehatan kabupaten, tetapi karena rendahnya gaji dan tingginya keinginan banyak ibu-ibu untuk mendapatkan perawatan kesehatan reproduksi pribadi, usaha sampingan ‘di rumah’ menjadi suatu norma. Beberapa bidan hanya bekerja di klinik-klinik swasta di rumah, yang menjadi sumber pendapatan utama mereka dan memberikan layanan kesehatan utama bagi kebanyakan ibu-ibu dalam masyarakat mereka. Klinik-klinik ini banyak yang hancur bersama dengan struktur-struktur yang lain di desa di mana para bidan tinggal dan bekerja. Kebanyakan klinik-klinik ini memerlukan perbaikan-perbaikan dasar termasuk membangun kembali dinding, atap yang baru, pengecatan, pembersihan sumur-sumur, pengadaan perabotan, drainase, dll.

Mercy Corps telah bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat di Meulaboh dalam pengembangan rancangan awal proyek ini. Selain itu, mitra-mitra yang lain adalah UNICEF, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan JHPIEGO, sebuah unit kesehatan teknis yang berasosiasi dengan John Hopkins University.

Kegiatan-kegiatan program mencakup:

dukungan materi (peralatan kebidanan, peralatan tambahan, dan pasokan);
dukungan finansial (kontrak perbaikan dan pembangunan kembali klinik);
dukungan psikososial (pertemuan kelompok setiap 2 minggu);
program penyegaran kesehatan dan pelatihan psikososial;
sesi-sesi kesehatan yang dipimpin oleh bidan (untuk ibu-ibu yang memiliki balita).
Sejauh ini semua bidan telah diberikan sesi bimbingan. Alasan di balik ini adalah untuk membuat para bidan mampu mengatasi kesedihan mereka sendiri sebagai akibat dari tsunami dan oleh karenannya mereka akan lebih siap dalam menangani kesedihan klien mereka. Para bidan juga dikirim selama dua minggu untuk mengikuti kursus penyegaran ketrampilan yang intensif karena banyak dari mereka yang tidak terbiasa dengan praktek-praktek yang baru karena mereka sudah tamat pendidikan sejak lama. Mercy Corps telah membangun 20 BPS (Balai Praktek Swasta), dan dalam minggu-minguu ke depan akan mulai membangun 20 lagi.

Published in: on Juli 2, 2007 at 4:21 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Ehm…Bidan DeLiM@!

KERJASAMA PROGRAM BIDAN DELIMA

Bertempat di Hotel Intercontinental MidPlaza, Jumat (10/6) lalu, Johnson & Johnson Indonesia bersama JHPIEGO (afiliasi dari John Hopkins University) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menandatangani kesepakatan guna mendukung program Bidan Delima, yaitu quality recognition program untuk para bidan praktik swasta. Bidan Delima ini nantinya akan mendapat pengakuan dan akan dipromosikan sebagai bidan berkualitas berpredikat standar nasional.

Nota kesepakatan ditandatangani Presiden Direktur Johnson & Johnson Indonesia, Mr. Swami Raote, Deputy Team Leader STARH Program-JHPIEGO, Ms. Nancy Caiola, dan Hj. Harni Koesno, Ketua Umum Pengurus Pusat IBI. “Kerjasama ini merupakan wujud komitmen kami untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan bayi di Indonesia,” kata Swami.

Bidan Delima adalah Bidan Praktik Swasta (BPS) yang mendapat pengakuan dari organisasi IBI sebagai bidan yang menjalankan pelayanan berkualitas. Saat ini terdapat 76.000 bidan di Indonesia, 24.500 di antaranya BPS. “Dari jumlah tersebut, baru 1,196 BPS yang telah mendaftarkan diri mengikuti pelatihan program Bidan Delima, 743 di antaranya telah dikukuhkan menjadi Bidan Delima,” ujar Harni.

Published in: on Juli 2, 2007 at 4:08 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

lowongan Bidan niy

Sumatera Barat Butuh 600 Bidan
Selasa, 29 May 2007 11:52:12 WIB
Pusdiknakes,SumbarAnda bidan atau sedang menempuh pendidikan kebidanan? Tak salah pilihan anda, kebutuhan tenaga bidan di pelosok negeri terbilang tinggi.

Provinsi Sumatera Barat saja, tahun ini membutuhkan 600 tenaga bidan untuk ditempatkan di Puskesmas dan Pos Kesehatan Desa, melayani proses persalinan dan mengawasi kesehatan ibu dan anak.

“Penambahan tenaga bidan itu sudah disampaikan ke Pusat, namun bupati dan walikota diminta mengisi peluang tersebut melalui APBDnya masing-masing,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Rosnini Syafitri, kemarin.

Pada 2006, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat merekrut 34 tenaga bidan. Pihaknya kini mengajukan tambahan kebutuhan tenaga bidan pada rekrutmen Juli mendatang.

“Kita belum mengetahui berapa formasi CPNS bidan bakal dikabulkan pemerintah pusat, ,” katanya.

Ia mengakui, kebutuhan tenaga bidan cukup banyak. Sehingga Pemkab dan Pemkot disarankan merekrut dan menggaji melalui APBD. Pasalnya, pemerintah pusat lebih memprioritaskan perekrutan tenaga bidan untuk daerah terpencil dan sangat terpencil.

Saat ini Pemkab dan Pemko di Sumbar telah melakukan proses perekrutan. Namun, jumlahnya masih minim.

“Ketatnya persaingan mengisi kebutuhan tenaga bidan maka lulusan bidan harus meningkatkan kualitas dirinya, tugas mereka berat namun mulia,”

Published in: on Juli 2, 2007 at 3:58 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

BoNeKa

Boneka tuch temen bo2 aq. Tiap malam aq peluk terus. ohya, boneka tuch maenan cw loh,,huhuhu.Pokonya boneka tuch lucu, palagi dapet dari pujaan hati cie elah hehehe.udah ya

Friday, January 05, 2007
Dokter kandungan atau bidan?
Sejak hamil anak pertama, saya menjatuhkan pilihan ke dokter kandungan untuk urusan kehamilan dan melahirkan. Sempat ditangani beberapa bulan oleh dokter kandungan di Ambon yang larisnya luar biasa. Bayangin aja…ruang prakteknya yang mini yang hanya ideal untuk 3 orang, bisa dipadati hampir 6 orang yang terdiri dari sang dokter kandungan, seorang suster dan 4 ibu2 hamil. Belum lagi waktu menunggu yang kadang2 sampai rumah sudah ganti hari.

Setelah pindah ke Lombok, saya tetap memilih dokter kandungan untuk urusan yang satu ini. Sang dokter ini merupakan salah seorang dokter kandungan senior di Lombok. Bukan karena nama bekennya sehingga saya memilih beliau. Tapi beliau adalah salah satu teman diklub menyelam dengan Abi dan sudah akrab sejak lama. Banyak keuntungan yang saya dapat, selain tidak perlu nunggu hingga ngantuk, kadang saya tidak perlu mengeluarkan uang ketika periksa…hehehe.

Ketika melahirkan Khansa, rupanya perkiraan waktu sang dokter meleset. Akhirnya para bidan yang menangani saya dan sang dokter hanya mengurus finishingnya saja…hehehe. Disurat keterangan melahirkanpun, yang tanda tangan adalah kepala bidan yang menangani saya melahirkan.

Waktu saya melahirkan Tsaqif, kali ini sang dokter tidak meleset sehingga saya betul2 ditangani beliau.

Nah, ketika hamil Azka…entah si Abi dapat ide darimana karena tiba2 dia menyarankan saya untuk kebidan saja. Toh kedua kehamilan saya normal2 saja. Pada awalnya saya menolak karena saya terus terang tidak percaya diri ke bidan. Setelah dirayu2, akhirnya saya mau juga tapi dengan banyak syarat. Si bidan harus yang senior dan sesuai dengan selera saya. Gini deh bawaannya ibu2 hamil…banyak maunya…hahaha.

Walaupun sukses ditangani bidan ketika melahirkan Azka, saya ingin balik lagi ke dokter kandungan ketika hamil Miska. Rayuan si Abi tidak mempan, dan saya benar2 kembali ditangani si dokter kandungan. Tapi saat2 melahirkan, si dokter belon datang, sang bayi sudah keburu lahir…lagi2 pada akhirnya proses melahirkan ditangani para bidan. Jadi dihitung2, 4 anak saya, cuma satu yang betul2 ditangani oleh dokter kandungan saat kehamilan dan melahirkan.

Untuk kehamilan kali ini, teman2 sudah merekomendasikan seorang bidan untuk saya. Ternyata dokter kandungan tidak terlalu populer disini dan lagian katanya cuma ada satu lho dokter kandungan dikota ini. Sang dokter hanya menangani proses kelahiran secara caesar atau kehamilan bermasalah. Kadang menurut teman saya, walaupun ditangani dokter, ketika melahirkan para bidan yang paling sibuk dibanding sidokter.

Saya memilih bidan yang telah direkomendasikan teman2. Beliau berasal dari Belanda tapi sepertinya sudah memiliki permanent resident New Zealand. Orangnya baik dan pernah tinggal di Bandung beberapa tahun yang lalu.

Seorang teman Indonesia pernah bercerita pengalamannya ketika ditangani si bidan saat melahirkan. Sehabis melahirkan, dengan tenangnya sibidan berkata:
“Where is your sarong?”
Yah…maklumlah sibidan sudah paham dengan kebiasaan ibu2 di Indonesia yang biasanya memakai sarung sehabis melahirkan, termasuk saya 🙂
posted by Hani at 7:48 PM

20 Comments:
Anonymous said…
Moga2 semuanya lancar…. oleh2nya mannnna? 😀
doel

10:57 PM
putri said…
Semoga sehat2 dan lancar mbak…
Saya sih (baru) 1 kali…jadi gak punya pengalaman buat di-sharing…hehehe…

Penginnya anak laki atau perempuan? hihi…kali ada cita-cita nambah yang mana gitu?

1:12 AM
Anonymous said…
bu..smoga semuanya lancaaar yaa..amiin. take care ya bu *hug*

*)Iin

7:53 AM
agusset said…
hehehe… emangnya ibu2 pada pake sarung ya abis ngelahirin? kirain pakai jarit (kain panjang) atau malah langsung daster 🙂

8:48 AM
Anonymous said…
moga2 semuanya lancar ya
waktu lahiran sandra dulu juga sama bidan.. dokternya mah jaitin aja 😛

intan

8:47 PM
jojo said…
ha ha ha…. jangankan habis melahirkan, di rumahpun aku seneng banged pake sarung, abis bebas banged. Meskipun, kata suamiku aku kayak janda-janda tua kalo pake sarung.

hidup sarung!!!

pa kabar bu Han, lama banged aku ga mampir sini, tahu-tahu sudah mau dapat satu lagi. seneng banged dengernya. aku kapan ya…..?

10:19 PM
Anonymous said…
Kapan due date-nya? Smoga lancar ya Han! Di sini juga yg paling sebok si bidan. Dokternya cuman ngobras 😀

–durin–

9:42 AM
Neenoy said…
sarung emang paling top lah, hehehe… semoga lancar ya, han…

btw, aku — insya allah — mau nyusul hani, nih… 😉

8:48 PM
ika said…
yah apapun pilihannya semoga lancar spt yg sudah2 ya han .. secara situ udah piawai sekali dlm hal yg satu ini 😀

btw blm sampai ya postcardnya ? daku cuma pakai alamat yg ada di postcard darimu itu lho han, yg tanpa postcode ..

8:59 PM
sinceyen said…
Dokter ato bidan, pokoknya semoga lancar aja keseluruhan prosesnya.

9:42 PM
ita said…
haha..jadi inget sewaktu mo lahiran daniel..keliling rumah sakit bersalin nahan2 kontraksi, nyarung aku 😀
Semoga lancar sampe lahiran yah mbak 🙂

5:43 AM
arief fiadi said…
selama masih berhubungan dengan kandungan okeh sajalah 🙂 yang penting pake saroong hi hi

4:06 PM
siwoer said…
kemayu kowe kuwi mak…biasane neng nggone dukun anak wae….wis gek neng dukun wae…dijamin tokcer. setelah selesai cukup pake cap jempol 😀

12:18 AM
funeno said…
mbak hon, mudah2xan selalu sehat dan lancar ya. amiin. udah persiapan sarong berape ni?

3:08 PM
Mama Rafayra said…
mbak udah nyiapin sarung? hehehehe

siapapun lah mbak..mo dokter atau bidan, semoga bisa membantu proses melahirkan dengan lancar. amin

12:11 AM
yanti said…
hehehe iya sebenernya klo ga bermasalah sih, ke bidan juga cukup ya. apalagi klo di luar kan cuma diUSG 3 kali. klo di sini kan tiap b ulan, dan cuma dokter yang punya alatnya. jadi perbedaannya signifikan, hehehe..

3:30 PM
yanti said…
hehehe iya sebenernya klo ga bermasalah sih, ke bidan juga cukup ya. apalagi klo di luar kan cuma diUSG 3 kali. klo di sini kan tiap b ulan, dan cuma dokter yang punya alatnya. jadi perbedaannya signifikan, hehehe..

3:35 PM
Anonymous said…
he..he..sarung. Han…kalo disini, gak ada komplikasi kita dikirim ke bidan. Moga2 nanti lahirannya lancar ya. BTW kapan duenya.

Yanti NL

5:05 AM
abiyar said…
atau mau nyoba pengalaman baru bersama paraji (dukun beranak)?

11:53 PM
rina rinso said…
Wah…kok baru kepikiran pake sarung ya… Insya Allah ntar yg ini aku siapin sarung deh pas lahiran, makasih mbak dah kasih ide cemerlang 🙂
due date-nya kapan ?

4:36 PM
Post a Comment

Published in: on Juni 28, 2007 at 7:18 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Published in: on Juni 26, 2007 at 7:30 am  Comments (1)